(ini adalah cerpen lanjutan dari cerpen sebelumnya yang berjudul JANJI. tolong di baca dan berikan komentar Anda, terimakasi)
Surat itu, mulai aku baca…
Dear, Jena
Aku
pergi ke Prancis, maaf aku gak bisa kasi
tau kamu, karena ada beberapa alasan yang gak bisa aku jelaskan.
Surat ini aku tulis apa adanya, karena
aku harus pergi secepatnya. Mungkin, kalau gak ada Elena, aku gak bakalan punya
kesempatan untuk menulis surat ini. sampaikan ucapan terimakasihku sama Elena
ya..
Jen..
aku minta maaf. Seharusnya.. perpisahan masa SMA menjadi hari yang menyenangkan
buat kita. Tapi.. hari ini, semua itu gak bisa kita rasakan. Kesenangan membaca
berita kelulusan, corat-coret seragam, berlarian dikoridor sekolah, dan mungkin
akan lebih banyak lagi yang akan kita lakukan sama-sama di hari ini kalau aku
gak pergi. Tapi pagi ini, ketika pintu takdir sudah terbuka… semua bayangan
kegembiraan sirna… maafkan aku.
Selamat
hari kelulusan ya..? maaf aku gak bisa temani kamu untuk datang dimalam
perpisahan SMA kita. Aku tau kamu menunggu momen ini sudah lama, tapi.. kali
ini, kita gak bisa datang bersama di acara perpisahan seperti masa SMP dulu.
Sekarang.. aku sudah jauh, tapi percayalah, aku tetap dekat bersamamu.
Aku harap..
kamu bisa baik-baik disana karena aku juga akan baik-baik saja disini. Miranda bersamaku
ke Prancis, kita sekolah ditempat yang
sama.
Tetaplah
tersenyum. Karena akupun juga akan senang disini..
Suaraku masih parau,
mataku masih sembab akibat dari tangisan yang tak kunjung berhenti. Aku baru
merasakan arti dari sebuah pengharapan akan cinta dan perpisahan yang
menyakitkan. Inilah puncak dimana hati dan pikiranku kacau karena cinta.
Aku kira.. Surat itu adalah surat perpisahan yang akan
membuatku menjadi lebih tenang selepas kepergian Doni. Tapi ternyata.. aku
salah. Saat ini, aku berada dalam kondisi yang tidak bisa aku jabarkan. Aku
berfikir tentang banyak hal. Tentang aku, Doni, dan Miranda. Aku merasakan
sakitnya sebuah perasaan yang tak terbalas. Surat ini adalah fakta bahwa Doni
tidak mencintaiku. Sangat menyedihkan. Ya.. akulah gadis yang sangat
menyedihkan.
Dengan hati
yang masih tak karuan, dan dengan mata yang masih sembab, aku beranjak dari
pandangan kaca toilet. Aku tidak mau melihat wajahku yang menyedihkan ini.
segera aku pergi. Mambawa kakiku melangkah menuju kursi yang tampak kosong
dipinggir lapangan basket.
“jen.. kamu gak papa
kan?” Tanya Elena
“aku gak papa kok
len” jawabku dengan lemas
Akupun terduduk disebuah kursi yang dulu pernah aku dan Doni pakai untuk
membaca buku.
“cinta itu.. seperti tulisan yang kamu tulis dalam
botol bening itu Jen. Gak akan pernah ada yang tau isinya sebelum kamu buka”
suara Elena memecah lamunanku
“kamu tau soal itu?” tanyaku heran
“ya.. Doni yang bercerita” jawab Elena
“terpendam”
“ya.. terpendam
ditempat yang dingin dan sepi” jelas Elena
“ini salahku?”
tanyaku sambil menutup muka
“nggak Jen.. semua
punya alasan. Dan aku yakin, kamu punya alasan kenapa kamu menahan perasaanmu
ini”
“menahan.. menahan
sebuah perasaan itu bener-bener gak enak Len”
“ya.. aku tau itu”
“seharusnya… aku
jujur sama Doni dari dulu, sebelum dia kenal Miranda”
“semua sudah terjadi
Jen.. kita gak bisa memutar waktu”
“lalu?”
“kita hanya bisa
menunggu jawaban dari tulisan didalam botol itu”
“kalau ternyata Doni
tidak menulis namaku?”
“tulisan memang
bukti dari sebuah fikiran seseorang. Tapi belum tentu tentang hatinya
(read:perasaan)” tutur Elena kepadaku.
“jadi?”
“jadi, masih ada kemungkinan
Doni akan berubah, dan berbalik melihat ketulusanmu. Berdo’a-lah Jen, Tuhan tau
apa yang terbaik untukmu dan Doni” Elena berkata sambil ikut hanyut dalam kesedihan
Aku merasa sedikit tenang ketika Elena menasihatiku
untuk lebih sabar menunggu waktu yang tepat untuk bertemu dan berbica pada Doni
mengenai apa yang aku rasakan.
Aku dan Elena kembali menuju kelas. Belum sempat aku
melangkah jauh dari kursi. Aku melihat teman-teman berlarian menuju mading
didepan ruang Pers.
“eh… kalian..
cepett… pengumuman kelulusan ni..” kata seorang anak di tengah kerumunan
“ha? Ayo Len” aku
segera menarik tangan Elena dan masuk dalam kerumunan anak SMA yang berusaha
untuk melihat pengumuman kelulusan.
Aku dan Elena
berhasil masuk ditengah kerumunan itu. aku mulai mencari namaku dan…
“WWAAA!!! Aku lulus
Len, aku lulus…” jawabku sambil berteriak kegirangan
“aku juga Jen…
wwaaa!! Kita lulus” teriak Elena setelahku
Aku dan Elena
berteriak kegirangan. Kami berpelukan dan sangat senang ketika membaca pengumuman kelulusan di papan mading
sekolah. Aku senang, aku bisa lulus. Senyuman mulai nampak di wajahku. Akan
tetapi, seketika senyumanku memudar, aku mengingat sebuah momen di pagi hari
beberapa bulan yang lalu. Saat itu, Doni memanggilku dari kejauhan, Dia berlari
kearahku dan seketika memegang kedua tanganku seraya berkata, “kamu kok gak semangat Jen? Seharusnya kamu
senang, kita berhasil”, begitulah ucapannya saat itu, Dia berkata dengan
ekspresi yang masih sangat aku ingat, penuh dengan rasa bahagia yang Ia
tampakkan melalui senyumannya yang manis dihadapanku. Saat itu adalah momen ketika Doni membawa kabar
gembira lomba Olimpiade matematika. Saat itu aku melompat kegirangan didepan
Doni. Aku masih mengingat senyumannya. Senyuman
yang hanya Dia berikan untukku, karena saat itu Miranda masih belum berada
diantara kehidupan kami.
Setelah puas melihat
hasil kelulusan. Mataku langsung mencari nama seseorang. Siapa lagi jika bukan
Doni Ardiansyah. Tidak sulit mencari namanya, karena Dia berada di urutan
pertama. Aku tersenyum ketika bisa melihat namanya tercantum dalam pengumuman
kelulusan. Sempat terlintas dalam ucapan hati “seharusnya… kamu disini,
bersamaku melihat pengumuman ini Don”. Aku tertunduk dan air mataku mulai
menggenang di atas kelopak mata bagian bawah.
“Jen.. ayo kembali”
kata Elena sambil memegang kedua pundakku
“iya” jawabku hanya
mengangguk pelan.
Aku dan Elena mulai
menghindar dari kerumunan. Kami berjalan menuju ruang kelas. Aku amati setiap
sudut sekolah. Oh.. Tuhan, banyak sekali yang sudah aku lakukan bersama Doni
disekolah ini, aku tidak bisa melepas pandanganku pada setiap ruangan disekolah
ini. semua berkesan untukku. Koridor tempatku berjalan saat ini adalah tempat
dimana Doni biasa memanggilku setiap pagi untuk bisa masuk kelas bersama. Aku
biasa berjalan bersamanya melewati jalan ini. ya.. jalan ini, jalan yang aku
lewati saat ini.
Tepat berdiri
didepan pintu kelas. Aku mulai membuka gagang pintu yang sudah sejak tadi
menatapku dari kejauhan. Aku mulai membukanya secara perlahan. Tak ada satu
orangpun didalam kelas. Hanya aku dan Elena yang memang baru saja menghampiri
kelas ini. Tampaknya teman-temanku sudah berlarian menuju lapangan untuk
merayakan hari kelulusan mereka. Kelas ini, sepi sekali… kursi, meja, papan,
rasanya akan menjadi sebuah saksi bisu kisahku dimasa SMA. Aku mulai melangkah
melewati lorong-lorong diantara meja dan kursi kelas.
“terlalu banyak
kenangan dikelas ini” Elena memecah suasana
“hmmm.. (aku
tersenyum) sangat banyak Len, saat ini, aku bukan hanya merindukan seseorang,
tapi aku juga merindukan masa dimana aku tertawa ditengah-tengah teman-temanku,
menghabiskan waktu bersama disekolah” jawabku sambil mengarahkan pandanganku pada
Elena.
“bukan hanya sekedar
menghabiskan waktu bersama dengan belajar. Tapi lebih dari itu”
“semua berawal dari
sini Len, persahabatan, cinta dan kasih sayang. Bukan hanya untuk Doni, tapi
untuk semua orang yang ada dikelas ini” kataku sedikit berkaca
Ternyata benar
sebuah kalimat. sesuatu akan terasa
berarti ketika kita tidak lagi memilikinya. Itulah yang aku rasakan saat
ini. Ketika Doni masih belum melabuhkan hatinya kepada Miranda, aku tidak ingin
mengatakan tentang perasaan ini pada Doni hanya karena aku menganggap bahwa
perasaan ini hanyalah nafsu yang akan menjebakku, dan akan merusak hubungan
persahabatan antara aku dan Doni. Sampai disaat terakhir aku bertemu dengannya,
aku belum bisa mengutarakan perasaan ini karena sebuah alasan yang sama dari
sekian banyak wanita diseluruh belahan bumi. Alasan karena aku adalah wanita,
aneh rasanya jika aku yang mengutarakan lebih dulu.
Kisah masa SMA-ku
juga begitu, aku kira ini adalah sebuah masa dimana aku hanya bisa merasakan
hal yang tidak jauh berbeda dari masa SMP. Kesekolah, belajar, dan bermain.
Ternyata… masa SMA berbeda. Disini aku mengenal banyak sekali kedewasaan sikap,
bertemu dengan banyak anak yang berbeda pandangan yang akhirnya membuat aku
mengerti bahwa didunia ini bukanlah hanya ada satu tipe manusia, tapi di dunia
ini banyak sekali tipe manusia dengan pikiran dan keunikan yang berbeda. Di
masa ini aku mengenal sebuah kebebasan bersenang-senang layaknya anak remaja,
perjuangan, kerja keras dan banyak hal lagi yang membuat aku merindukan menjadi
seorang anak sekolah yang memakai baju seragam dan masih bergantung kepada
orang tua, anak SMA yang masih bisa bersantai ditengah pelajaran, yang masih
bisa tertawa dan merasa tidak bersalah ketika masih belum mengerjakan tugas, telat
masuk kelas, melihat film bersama ketika jam kosong, bebas untuk memutar musik
kapan saja ketika jam kosong, dan banyak hal lagi yang aku lakukan dimasa SMA
ini. semua hal yang menyenangkan yang aku rangkum dalam otak yang akhirnya itu
semua akan menjadi sebuah kenangan. Kenangan yang indah yang berasal dari
beberapa potongan kejadian manis diantara aku, Dia, dan mereka yang menyatu
dalam sebuah kisah di masa putih-abu-abu.
“GGUBBBRRAAAKKKKK”
tiba-tiba ada suara dibalik pintu kelas
“woy… sapa tu”
jawabku sambil berlari diikuti Elena
“hwaaa… sakit”
Ternyata, si Beni. Anak gendut yang jail haha.. dia jatuh.
“hwahahahaha….
Makanya kalau jalan liat-liat” sindir Elena
“ayo aku tolongin”
ucapku sambil mengulurkan tangan..
Tapi… tiba-tiba..
“SSSRRRROOOOTTTTTT….!!
“hwwwaaaaa bajuku…
dasar Beni!! Kamu jail banget seh!!”
“Ben… rasain ni..”
Elena mengeluarkan pilox dari tasnya..
“EEELLLEENNNN”
tampak Beni kesal
“hahahahaha” kami
tertawa..
Aku tertawa melihat
tingkah Elena dan Beni. Akhirnya.. aku juga mengeluarkan pilox dari tasku. Aku
dan Elena berlari mengejar Beni ke lapangan. Ternyata, dilapangan sudah penuh
dengan teman-teman yang siap dengan alat penyemprot masing-masing.
“hai.. jen, aku
boleh minta tanda tanganmu” tanya seorang teman kepadaku
“oke boleh, aku juga
minta ya..”
“sip deh!”
Hari ini, aku
mencoba untuk sejenak menikmati sesuatu yang harusnya memang aku nikmati. Pagi
ini, aku berada ditengah-tengah manusia berpakai putih abu-abu yang sebentar
lagi akan menjadi baju penuh dengan tulisan dan coretan penuh makna. Aku
menatap teman-temanku yang sedang asik dengan kegembiraan mereka masing-masing.
Aku berfikir “tak apalah tak ada kamu,
yang terpenting teman-temanku masih berada disini untuk aku jadikan sebuah
alasan senyum bahagiaku hari ini”
Bajuku tercoret dengan tanda tangan dan tulisan yang berwarna-warni.
Disetiap sudut lapangan sudah ada banyak anak yang siap untuk menyemprot baju
anak lain dengan pilox mereka masing-masing. Kamera banyak beredar. Banyak yang
mengabadikan momen ini. Seketika aku sadar. Ini adalah masa dimana aku akan
melepas masa remajaku dan berlari lebih kecang lagi untuk menjemput masa depan.
Ini adalah hari dimana aku akan berhenti merengek dan bertingkah seperti
anak-anak. Dunia akan memutar balikkan kehidupanku layaknya roda, kali ini
benar-benar roda kehidupan. Keluar dari zona aman seorang gadis SMA.
Aku pulang. Hariku tak sepenuhnya menjadi hari yang pilu berkat
teman-teman yang memberikan kesan istimewa di akhir masa SMA. Akupun
menggantung baju SMA-ku yang penuh dengan coretan di lemari. Aku menatapnya
tajam dan berfikir.
“3 tahun lalu aku beranjak menjadi seorang anak SMA yang begitu cupu
dengan baju MOS yang bodoh. Sebulan menjadi anak SMA adalah bulan dimana aku
lebih banyak berbicara akan kehebatan sekolahku kepada teman-teman SMP. Berbagi
kisah akan kehidupan awal masa SMA yang begitu asing, MOS yang terkadang
memalukan, atau sekedar berbicara tentang kakak senior yang populer. Setahun
terlewati, aku mungkin sudah terbiasa dengan lingkungan anak SMA. Diawal kisah
inilah aku mulai mencari maksud dari kalimat masa SMA adalah masa yang indah.
Setahun belum aku dapatkan, dua tahun masih kurang untuk memaknai kalimat itu.
tapi untuk sekarang, aku bisa memaknainya. Kisah itu seperti baju yang sekarang
aku lihat. Awalnya baju itu putih yang berarti belum bisa memaknai-nya, namun
di akhir perjalanannya, baju ini memiliki banyak sekali warna, yang berarti
mulai bisa memaknai dan menyadarkan diri jikalau coretan itu adalah saksi bahwa
selama 3 tahun ini banyak orang yang sudah mewarnai kehudupanku”.
Perjalanan yang indah. Tapi menjadi sedikit ada awan hitam ketika aku tak
bisa jujur akan perasaan-ku kepada Doni. Elena memintaku untuk menunggu dan
sabar. Apakah itu adalah tindakan yang benar?. Menunggu hal yang tidak pasti
dengan pengharapan yang mungkin akan menjadi sampah kepiluan. Entahlah.. aku
rasa ini adalah cinta yang rumit.
2 bulan
kemudian
“baik, hari
ini kita akan belajar mengenai Ekonomi Makro” ucap seorang dosen
Ini adalah perjalananku yang baru didunia yang baru. Aku sadar, dunia ini
luas dan harus aku taklukan. Mungkin kemarin aku adalah gadis cengeng yang
menunggu cintanya untuk kembali. Namun hari demi hari aku mulai membenahi diri.
Percaya jika aku harus bangkit mengejar mimpiku. Kehidupan masa dewasaku
berawal disini, dan akan berakhir dimana? Aku-pun tak tau, sama seperti
penantianku padanya, sang penakluk hati.
Aku mulai menjadi mahasiswi disebuah universitas terkemuka. Universitas
Indonesia. dengan jurusan Ekonomi. Jurusan yang memang aku inginkan sejak dulu,
menjadi ahli ekonomi untuk memajukan bangsa ini untuk lari dari belenggu
permasalahan rumit perekinomian dunia. Dikehidupanku kali ini, aku masih
bersama teman sebangkuku, Elena. kita memang memiliki keinginan yang sama sejak
pertama kami mulai bercerita mengenai mimpi dan cita-cita kita.
6 bulan
kemudian di kampus UI
“jen.. cepet kesini” teriaknya didepan mading sekolah
“apa Len?” bertanya sambil memegang buku ekonomi yang tebal
“ada pertukaran Mahasiswa ke Prancis” katanya kegirangan
“owh..” jawabku
“loh.. kok gak semangat Jen? Bukannya ini bagus?”
“udahlah gak penting”
“tapi Doni disana Jen, kamu bisa kesana” katanya dengan bingung
Akupun menghela napas panjang dan berkata dengan pelan kepada sobatku ini
“Len.. kita baru beberapa bulan disini. Aku juga sudah sedikit terbiasa
gak ada Doni, suatu saat nanti kalau aku sudah bisa membuktikan kesuksesanku.
Aku yakin Tuhan akan mempertemukan kita”
Elena hanya bisa terdiam dan pasrah mendengar apa yang aku ucapkan.
Kami-pun kembali berjalan menuju perpustakaan. Aku dan Elena seperti biasa
memilih tempat duduk yang strategis diantara deretan buku filsafat pojok
sebelah kiri. Tiba-tiba..
“permisi, boleh aku duduk?” terdengar suara dari seorang laki-laki
perawakan tinggi dengan jaket hitamnya membawa buku kedokteran.
“boleh.. boleh..” jawab Elena sambil tersenyum kagum padanya
Siapa laki-laki ini?. Tiba-tiba memilih tempat duduk di meja yang aku dan
Elena tempati, padahal didepan masih banyak sekali bangku yang kosong. Tapi,
yasudahlah, anak laki-laki ini juga datang untuk belajar dan dia juga berhak
untuk duduk dimana saja yang dia mau.
Elena sedari tadi memandangi lelaki itu dengan pandangan yang aneh.
Terkadang Dia berubah menjadi gadis aneh ketika melihat laki-laki tampan
dihadapannya. Dasar wanita.
“Len.. ayo kembali kita ada kelas kan?” tanyaku sambil beranjak dari
kursi
“ha? Gak ada kok..” jawabnya Elena sedikit protes
“Len, apa aku harus kasi jadwalnya sekarang?” mukaku mulai menampakan
ancaman dengan ekspresi aneh
“iya.. iyaaa..” jawabnya pasrah dan ikut beranjak dari kursi
Selagkah menghindar
“hey tunggu..” laki-laki itu memanggil kami
“ada apa?” jawabku sedikit cuek
“dari tadi kita duduk ditempat yang sama tapi masih belum sempat
berkenalan kan?” berucap dengan senyuman dan mengulurkan tangannya seraya
berkata “namaku Rendy anak fakultas Kedokteran”
Tanpa berfikir panjang, Elena langsung mengulurkan tangannya lebih dulu
“Aku Elena” jawabnya dengan senyuman mautnya
Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah bodoh Elena.
“namaku Jena, kami berdua…”
“anak fakultas Ekonomi, benar?” tebaknya mendahului kalimatku
“iya.. kok tau?” sergah Elena
“karena sedari tadi aku melihat kalian membaca buku ekonomi, hehe”
jawabnya dengan gaya yang keren
Akupun membalas kalimatnya yang sedikit bodoh dengan jawaban tebakannya
tadi.
“aku juga tau kamu anak kedokteran lewat buku yang sudah dari tadi kamu
pampang” tantangku sambil melihat sedikit pada buku yang dibacanya
“heheh benar juga, senang bertemu kalian, semoga masih ada besok untuk
kita ketemu” ucap katanya dengan senyuman yang tampaknya mirip dengan senyuman
seseorang yang pernah aku kenal. Siapa ?
Pertemuan dengan anak fakultas kedokteran. Pertemuan yang membuat Elena
menjadi manusia aneh hari ini. Aku tidak
pernah melihatnya seperti ini. aku sedikit merasakan hal aneh dengan pertemuan
ini. apakah ini hanya perasaanku saja atau.. entahlah, mungkin ini hanya
firasatku saja.
“jen,, ke café yuk?” ajak Elena
“uangku…”
“udaah.. aku yang traktir” tawaran yang datang dengan tiba-tiba
“oke!”
Siang itu aku dan Elena beranjak dari kampus dan keluar untuk mencari
suasana baru ditengah kerumunan manusia kota metropolitan. Sedikit menjejaki
kota dengan menikmati suasana siang yang panas di sebuah café. Sepintas aku
teringat akan kebiasaanku dulu dengan Doni. Sewaktu liburan semester, Aku dan Doni hobi sekali membicarakan hal-hal
lucu disebuah café. Menu makanan kita selalu sama. Waffle ice cream. Karena
kita sering bersama, mungkin sugesti kebersamaan itulah yang membawa kita
mempunya kesukaan yang sama.
“hey.. kita bertemu lagi”
Aku dan Elena spontan mengarah pada samping kanan meja
“haii.. Ren, ayoo duduk” sapa Elena
Aku sedikit tak nyaman dengan kedatangan laki-laki ini. pertemuan kami
yang kedua disebuah café memberikan kesempatan bagi kami untuk bertukar banyak
hal. Karena di café lebih bebas untuk bersuara dibandingkan di perpustakaan.
“mau pesan apa mas, bak?” terdengar suara pelayan
“waffle ice cream” jawabku dan Rendy bersamaan
Aku dan Rendy saling bertatapan, sedangkan Elena sedikit bingung hingga
akhirnya dia juga memilih untuk memesan waffle.
Aku bersuara dalam hati “waffle? Itu adalah pesanan yang biasa aku pesan
bersama Doni. Kenapa bisa jadi kebetulan begini?”.
“hey! Hey! Hey! Jeennn??” suara dan lambayan tangan Rendy menyadarkan-ku
dari lamunan
“eh? Apa?” jawabku sedikit terbata-bata
“kamu tu lo dari tadi ngelamun aja.. ngomng dong, kamu kurang sehat Jen?”
Tanya Elena padaku
“nggak-nggak.. Cuma.. yaa.. udah gak papa kok” kataku sedikit tak
meyakinkan. wajah mereka berdua masih menatapku dengan ekspresi yang aneh.
Perbincangan dari seorang teman lama, dan seorang teman baru.
Perbincangan dibalik terik matahari yang serasa renyah dan sejuk dengan baluran
waffle icecream yang mengguyur lidah dan membasahi kerongkongan yang sedari
tadi sudah kekeringan. Perbincangan kali ini membuat kami lebih dekat, tertawa
akan hal bodoh Elena, dan pengalaman Rendy saat praktek kedokteran yang ternyata
begitu aneh, hingga tak terasa matahari sudah mulai berpindah menyonsong sore
hari.
Sehabis dari perbincangan itu, aku kembali kerumah. Membaringkan badan
diatas kasur dan merogoh foto disamping tempat tidur. Fotoku dan Doni. Aku
sedikit berbicara pada foto itu “Don.. bagaimana kabarmu di negeri orang?
Apakah kamu benar-benar akan kembali?. Hari ini aku bertemu dengan seorang
laki-laki yang sedikit mirip dengan-mu”
Keesokan harinya…
Pagi ini aku sedikit merasa aneh. Ada sesuatu yang sepertinya menjadi
pertanyaan besar. Aku berangkat ke kampus tanpa Elena. Dia akan sedikit terlambat
karena ada yang harus Dia urus. Aku melangkah dengan tatapan yang sedikit
kosong dan melamun. Melamunkan Doni dan Rendy, laki-laki yang sudah lama aku
kenal dan lelaki yang misterius itu.
“Hey Jennn!” suara seorang laki-laki dan menepuk pundakku
Langkahku terhenti dan..
“DONI!”
“Doni? Aku Rendy” jawab Rendy sedikit bingung
“owh.. maaf-maaf aku kira kamu Doni” kataku sedikit beralasan
“Doni ?” Tanya Rendy masih terlihat bingung
“haha, udah gak usah dibahas, Cuma salah nama kan?” jawabku sekenanya
Akhirnya, aku berpisah dengan Doni di lobby kampus. Dia hanya datang
untuk menyapaku. Maklum jika seorang teman menyapa, sedikit memberikan senyuman
di pagi hari yang cerah ini. Aku sadar, jika akhir-akhir ini aku mulai
menerimanya sebagai seorang teman. Teman laki-laki pengganti ketidakadaan Doni
di hadapanku saat ini.
Siang hari. Elena ternyata tidak bisa hadir di kampus hari ini, alhasil
hari ini aku berkumpul dengan teman-teman Ekonomi lainnya, sekedar meluangkan
waktu untuk belajar bersama disela-sela jam kosong. Tiba-tiba siang menjadi
kelabu dengan datangnya awan hitam yang menghalangi cahaya matahari, sepertinya
hujan akan turun.
Benar saja tebakanku, siang ini hujan mengguyur kota. Aku berjalan ke areal depan kampus sendirian,
menunggu akan ada angkutan umum yang bisa membawaku menyelamatkan diri dari air
yang siap membasahi badan ini. terlintas dari pikiran akan bayang-bayang Doni
dengan vespa merahnya melintas di hadapanku dan mengajakku untuk pulang bersama
seperti hari itu. Tapi.. aku tau semua itu tidak akan terulang, tidak akan
terulang seperti dulu lagi karena Dia sudah tak disini bersamaku. Kenapa
perasaan ini masih tetap ada walaupun aku tidak pernah mendengar suaranya atau
bahkan melihat sosoknya berdiri dihadapanku? Sekuat inikah cinta? Hingga
membuat orang yang menderitanya begitu antusias untuk berimajinas tentang apa
yang di rasa hati walau sang harapan jauh disana.
“JENA? Ayo naik” ada suara yang menyadarkanku
“Rendy? Kenapa?” tanyaku. Suara Rendy sedikit tak terdengar akibat suara
hujan yang begitu keras. Tapi.. aku merasa ada sebuah kesamaan, Vespa merah
itu…
“Jen.. ayo! Ini hujan, kamu ikut aku, ada mantel” katanya sambil
berteriak
“iya.. iya..” aku berlari menuju sepedanya dan tanpa berpikir lagi aku
ikuti Rendy. Siang ini Dia mengantarkanku pulang
Sepanjang perjalan, Aku hanya bisa terdiam. Hujan ini, hujan yang menjadi
cover dibalik kenanganku bersama Doni dulu, diatas vespa merah Doni aku tertawa
bersamanya, hujan menjadi hal yang menyenangkan saat itu. “kenangan masa SMA
yang indah” seruku dalam hati. Namun sangat berbeda untuk kali ini, aku memang
berada diatas kendaraan yang hampir sama, vespa merah. Namun dengan orang yang
berbeda, itulah alasan mengapa aku hanya bisa terdiam dibalik mantel, terdiam
dengan lamunan yang diiringi hujan dan gemuruh suara kendaraan bermotor yang
lalu-lalang. Aku sadar, jika manusia yang ada dihadapanku saat ini bukanlah
Doni.
Sesampainya dirumah, aku mengajaknya masuk karena hujan masih membabi
buta dengan suara petir yang menyambar. Di rumah aku tinggal sendirian, karena
orang tua masih bekerja di luar kota.
“ini handuk” ucapku kepada rendy sambil menyodorkan sebuah handuk
berwarna biru
“makasi, oya.. ini sahabatmu kan? Tanyanya sambil melihat ke ujung meja
dimana fotoku dan Doni terpampang
“yaa.. dari mana…?”
“aura dari foto ini yang mengatakan kalian begitu dekat” jawabnya
memotong kalimatku
“aku sudah dekat dengannya semenjak kecil, namanya Doni”
“sekarang Doni masih..?”
“nggak Dia pergi untuk beberapa tahun sekolah di Prancis” ganti aku yang
memotong kalimat Rendy
“kamu suka sama Doni?”
“ahh.. gak tau, itu biarkan hanya aku yang tau” jawabku sedikit canggung
Doni tidak membalas perkataanku, Dia hanya tersenyum di balik kalimat
yang aku utarakan. Sepertinya Rendy tau sesuatu, benarkah? Pikiranku sedikit
membaca.
Aku berdiri dan menatap hujan dari balik kaca jendela.
“kamu percaya jodoh?” tiba-tiba Rendy bertanya disela lamunku
“jodoh? Kenapa kamu..?” pertanyaan yang sama dengan apa yang di utarakan
Doni setahun lalu dibalik gemuruh hujan pinggir danau, sedikit ada yang
terlintas dari pikiranku tapi aku enyahkan seketika dan melanjutkan kalimatku,
“aku percaya, sangat percaya jika manusia ditakdirkan untuk berpasangan, kamu?”
tanyaku kepada Rendy
“sama, aku juga. Tapi.. aku tetap bertanya-tanya, apakah Dia sudah dekat?
Atau jauh?”
“iya juga ya, apa aku sudah pernah melihatnya? Hha” balasku, sambil
menyentuh kaca yang berlumur air hujan
“mungkin, kamu sudah melihatnya, tapi kamu masih belum bisa membacanya
dengan jelas. Hanya bisa melihat tanpa masuk kedalam perasaannya. Terkadang,
memendam itu tidak baik. Seperti pesan didalam botol, tidak akan ada yang tau
jika tidak membuka botolnya” jawab Rendy sambil tersenyum dan menatapku dari
sofa
“a.. terpendam? Botol?” jawabku sambil berbalik dan menatap Rendy tajam
“ada apa?” Rendy keheranan
“tti .. tidak..” aku gugup, berbalik dan kembali menatap hujan
Dibalik hujan aku merenungkan sesuatu. Aku bepikir, apa yang dimaksud
Rendy? Apakah Rendy tau sesuatu? Kenapa Dia tau tentang botol yang terpendam?.
Ataukah Rendy memang tidak tau sesuatu tentangku? Dan botol yang terpendam itu
hanya sebatas pesan yang memang selalu dipakai orang untuk memaknai sebuah
cinta yang terpendam?. Ada banyak pertanyaan dalam benakku mengenai laki-laki misterius
ini. tingkahnya membuatku penasaran, ada beberapa hal yang membuatku berpikir, Dia
hampir sama dengan Doni. Makanan kesukaan yang sama, tingkah yang sama,
ucapan, vespa itu, terkadang, Rendy memang melakukan hal yang terasa sama
dengan apa yang dilakukan Doni dulu. Laki-laki misterius ini, kenapa Dia
datang ditengah ketidak hadiran Doni? Pertemuan ini membuatku memikirkan banyak
pertanyaan tentangnya. Tentang laki-laki misterius bernama Rendy.
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar